Pages

Minggu, 01 Januari 2012

Stardust #2

Beberapa tahun yang lalu, ketika mereka sekeluarga sedang berlibur di lombok. Malam itu, Bunda dan Ara sedang duduk menatap laut dihadapan mereka. Menikmati desiran ombak dan belaian angin malam dipinggir pantai yang tak jauh dari cottage mereka. Bunda pernah berkata,

“Kalau suatu saat Bunda gabisa nemenin kamu lagi, terus kamu kangen sama Bunda, coba deh kamu keluar malem-malem trus liatin taburan bintang dilangit, Bunda pasti salah satu bintang itu,”
“Kenapa Bunda ngomongnya gitu? Bunda mau pergi ninggalin Ara sama Ka Redi?” tanya Ara bingung yang saat itu masih berumur 8 tahun.
Bunda yang melihat Ara kecil bingung hanya tersenyum sambil menarik Ara ke pelukannya.

Ara terbangun dari tidurnya.

Mimpi itu lagi....

Selalu mimpi yang sama, kala ia kangen berat dengan Bundanya. Kemudian terdengar suara pertengkaran di ruang tamu. Ara melihat jam di dinding kamarnya,

Jam 12, kenapa masih ada yang bangun? Tanyanya penasaran.

Tak ingin lebih penasaran, Ara langsung keluar kamarnya menuju ruang tamu.
“Dari mana aja kamu?! Gatau ini udah tengah malem?! Berkeliaran kaya gak punya rumah!” bentak papa ke arah Ka Redi yang sepertinya baru sampai rumah.
“Aku abis ngurusin event pa, Redi punya Event Organizer sama temen-temen Redi....” jawabnya kalem, walaupun ia sendiri takut melihat reaksi yang akan diberikan papa-nya.
“BUAT APA KAMU IKUT-IKUTAN  KEGIATAN GA GUNA KAYA GITU?! BUANG-BUANG WAKTU AJA! KAMU KAYA ORANG SUSAH TAU!” bentak papa sambil menahan emosi yang siap keluar kapan saja.
“Aku cuma ga pengen ngerepotin papa. Aku juga pengen nunjukin ke papa kalo aku bisa mandiri dan ngehasilin uang di luar tangan papa.”
“KAMU PIKIR PAPA GABISA PENUHIN KEBUTUHAN KAMU SAMA ADIKMU APA?! UANG DARI PAPA KURANG?! UANG YANG TIAP BULAN PAPA TRANSFER KE REKENING KALIAN MASIH KURANG?! HA?!”
“BUKAN ITU PA! AKU SAMA ARA GA BUTUH MATERI BERLIMPAH DARI PAPA! KAMI CUMA INGIN PERHATIAN DARI PAPA! JANGAN MENTANG-MENTANG PAPA UDAH TRANSFER UANG ITU, PAPA JADI LUPA SAMA KAMI DAN CUMA NGURUSIN PEKERJAAN PAPA! KAMI INI MASIH ANAK PAPA!” Ka Redi menjawab papa dengan suara tinggi sampai membuat Ara tercengang mendengarnya.

Baru kali ini ngeliat Ka Redi marah, ke Papa lagi! Batinnya.

Papa yang melihat reaksi anak sulungnya itu kaget. Wajah Papa memerah menahan emosi. Namun, kali ini emosi Papa sudah di ambang batas. Tangan Papa melayang menuju wajah Ka Redi. Ingin menamparnya. Ara langsung berlari menuju Papa ingin mencegah tangannya, alhasil, dia lah yang terkena tamparan Papa.

Plak....

“Ara!!!” teriak Ka Redi yang kaget dengan kedatangan Ara yang tiba-tiba.
“Udah, gapapa ka.” Ucapnya pada Ka Redi yang masih menahan emosi.
“Pa, kami minta maaf ‘key? Maaf kalo selama ini kami selalu buat papa marah.” Jelasnya sambil menahan air mata “Ara janji bakal ikutin aturan papa, tapi jangan pukul Ka Redi please?” pinta Ara memelas.

Papa yang sedaritadi diam, hanya melihat kedua anaknya bergantian. Kemudian berjalan ke kamarnya tanpa mengucapkan sepatah kata pun.

“Ra! Kamu apaan sih?!”
“Ssssttt.... gapapa ka, udah yuk ah, udah malem ka,” ucap Ara sambil menuju kamarnya, diikuti Ka Redi.
“Maaf jadi kamu yang kena.... sakit yah?” Redi mengelus pipi adiknya yang memerah.
“Sakit dikit doang ko, gapapa ka.” Jawabnya sambil tersenyum, walau sebenarnya ia menahan air mata yang hampir menetes.
“Harusnya aku yang ngelindungin kamu, bukan sebaliknya.” Redi memeluk adiknya, Ara yang diperlakukan seperti itu tidak sanggup lagi membendung air matanya.
“Udah ah, ko kaka jadi tiba-tiba dangdut sih? Haha” ucap Ara sambil tertawa jail meskipun matanya basah karena airmatanya,
“Hahaha bisa aja kamu. Yaudah kamu tidur sana, besok kaka anter lagi ya?”
“Gausah ka, kaka pasti masih capek kan? Aku dianter Pak Asep aja.”
“Yaudah terserah kamu aja, tidur yaa. Sleep tight dear,” ucapnya sambil membelai lembut rambut Ara.

***

Di ruangan lain, Papa masih berdiri diam sambil memandangi foto keluarga mereka yang diambil beberapa tahun dilam. Di foto itu, terpancar kebahagiaan murni yang saat itu mereka rasakan.

Bukan ini yang Papa mau, asal kalian tahu. Papa masih belum rela ditinggalkan oleh Bunda kalian. Batin Papa sambil terus memandangi foto bahagia itu.

***
“Ra lo sakit?” tanya Dinka saat jam pelajaran berlangsung.
“Ngga ko, gue ga sakit....” jawabnya sambil tersenyum.
“Yakin?” tanya Dinka yang masih ragu akan jawaban Ara.
“Iyaa Dinka.... don’t worry me,”

Tapi Dinka masih ragu akan jawaban Ara. Ditambah lagi wajah Ara yang makin pucat semenjak ia muncul didepan pintu kelas dengan tampang kusut.
Sepulang sekolah, Ara ingat ia ada latihan basket. Berhubung sepertinya ia agak tidak sehat, ia meminta izin kepada pelatihnya untuk tidak absen latihan.

“Kalo bukan alasan penting-penting banget, tolong jangan tinggalkan latihan walau Cuma sekali. Kamu kan salah satu MVP di tim ini. Ingat beberapa bulan lagi kita ada turnamen.” Ucap pelatihnya tegas.
“Hmm, iya Pak saya latihan aja.” Akhirnya ia memutuskan untuk latihan. Semoga aja  fisiknya bisa diajak kompromi kali ini.

***

“Kata Dinka lo sakit, kenapa latihan?” tanya Rama saat mereka sedang bersiap-siap dipinggir lapangan.
“Gue ga sakit ko. Lagi tadi juga gue udah minta ijin sama Pak Santoso, tapi ga diijinin.” Jelasnya sambil mengikat rambutnya asal.
“Sadis tu guru, ck. Tapi serius lo gapapa?”
“Iyaa tenang aja. Khawatiran banget lo sama gue.”

Rama yang mendengar perkataan Ara tadi hanya mengusap tengkuknya. Bingung harus menjawab apa akan ucapan Ara tadi. Ara segera berlari memasuki lapangan, karena Pak Santoso memanggilnya.
Saat latihan, pelatih mereka -Pak santoso- memberi full game. Gak kaya biasanya, Ara bener-bener ga bisa fokus, mungkin karena fisiknya yang udah terlalu lelah. Bahkan Pak Santoso pun berkali-kali menegur Ara, salah satu pemain terbaiknya, karena ia selalu membuat fault.
Dua jam kemudian latihannya selesai. Teman-teman basketnya langsung berhambur mengambil barang mereka dan langsung keluar sekolah. Disekolah kini tinggal ia, Rama, dan beberapa anak fotografi yang sedang mempersiapkan pameran bulan depan, di lantai dua.
Ara yang masih sangat lelah, membungkuk memegangi lututnya sambil mengatur nafas. Tiba-tiba....

Tes....

Darah menetes ke sepatunya. Ara yang melihat itu langsung refleks memegangi hidungnya.

“Shit! Kenapa sekarang sih?!” ia memaki dirinya sendiri

Ara pun berlari menuju tasnya, mencari benda yang selalu ada di tasnya. Tisu.

“Aaaahh! Mana sih?! Ko ga ada!” makinya sambil terus merogoh isi tasnya.
“Cari apa?” suara itu menyahut. Terasa familiar bagi Ara. Ia pun menengok ke sumber suara.
“Hmm.... tisu,” jawab Ara sambil masih dengan menutupi hidungnya walaupun tangannya sudah tertutup darah.
“Kamu kenapa?!” tanya kakak kelas itu kaget “tunggu disini!” kakak kelas itu langsung berlari menuju lantai dua.

Ara yang masih terbengong-bengong melihat tindakan kakak kelas tadi, langsung dikagetkan oleh Rama.

“Woy! Hahaha....” Rama menepuk punggung Ara yang membuat Ara refleks menengok ke arahnya “Eh lo kenapa?!” tanyanya panik.
“Ng.... gapapa, biasa kambuh.” Jawab Ara singkat.

“Ini tisunya,” kakak kelas itu tiba-tiba datang dan menyodorkan benda yang sedaritadi Ara butuhkan.
“Makasih ka,” ucapnya sopan sambil mengambil tisu itu.
“Sini!” kakak kelas itu menarik wajah Ara mendekat.
“Eh ka, gausah saya bisa sendiri. Thanks”
“Sssstt.... jangan bawel deh!” kakak kelas itu menghiraukan Ara dan langsung membersihkan wajah Ara yang terkena darah. Dengan posisi berhadap-hadapan seperti ini, Ara bisa melihat bet nama kakak itu, Firaz Putra S.

Setelah selesai membersihkan wajah Ara, Firaz langsung pergi dengan menitipkan Ara pada Rama. Ternyata Firaz dan Rama sudah saling kenal.

“Lo kenal Firaz?” tanya Rama yang sedaritadi diam melihat tindakan Firaz terhadap Ara.

Ara yang masih dengan tampang bingungnya hanya menggeleng pelan dan itu membuat beribu pertanyaan di kepala Rama.

“Pulang sama siapa?” tanya Rama yang sedikit khawatir sambil membereskan barang-barangnya,
“Sendiri, naik bus.”
“Gue anter deh, nanti lo pingsan tengah jalan lagi.”
“Ga us....”
“Sssstt bawel deh, ayo ah!” rama langsung menarik pergelangan tangan Ara dan berjalan menuju parkiran.
Ara mendengus kesal, dan tak disangka tiba-tiba mulutnya bergerak.
“Gue kesel sama lo! Kenapa sih lo selalu ngelakuin hal sesuai kehendak lo sendiri?! Ga mikirin perasaan orang yang lo giniin!” maki Ara ke arah Rama

Rama kaget saat mendengar pernyataan yang dilontarkan Ara. Namun kali ini, entah ada angin apa, Rama sedang tidak ingin berdebat dengan Ara. Yang dia inginkan hanya mengantarkan Ara pulang, tanpa terjadi sesuatu dengan cewek di sampingnya ini.

“Udah, ayo jalan aja. Gue lagi males debat sama lo.”

Ara mendengus, pasrah aja. Kali ini dia hanya bisa meng-iya-kan ajakan Rama. Fisiknya sudah terlalu lelah kalau harus jalan ke halte dulu, bisa-bisa ia pingsan tengah jalan!

Di sisi lain gedung sekolah, Firaz tengah memperhatikan dua siluet yang berjalan melenggang melewati parkiran. Firaz menghela nafas lega. Setidaknya, adik kelas yang tadi ia bantu, walaupun dia hanya membersihkan wajah adik kelas yang namanya ia sendiri tidak tahu, nggak pulang sendirian.

“Siapa sih nama dia?” gumam Firaz.

Firaz yang sedang asik melamun, dikagetkan oleh temannya, salah satu anggota fotografi, Rafly.

“Belom pulang Raz?”
“Eh, elo Raf. Iya ntaran deh, lo duluan aja.”
“Oke duluan bos!”
“Yo!”

Ketika Rafly berjalan menjauh, dia baru teringat akan gumaman Firaz tadi.

Tadi si Firaz kaya gumamin sesuatu gitu, ah besok harus gue tanyain!

***

20 menit kemudian, mereka sampai didepan rumah Ara. Selama perjalanan Ara menyenderkan kepalanya dipunggung Rama, dan tertidur beberapa menit setelah ninja hitam itu melaju membelah jalanan. Rama yang selama perjalanan memegangi tangan Ara agar cewek itu tidak jatuh, kini menengok kebelakang karena Ara tak kunjung bangun. Tangannya membelai kepala Ara dan merasakan panas yang menyelimuti tubuh gadis itu. Tak ingin membangunkannya, Rama men-dial nomor Redi, kakak Ara.

“Mas, gue didepan rumah lo nih. Ara ketiduran, kecapekan kayanya. Keluar dong, gue ga tega bangunin adek lo nih,” ucapnya pada Redi sesaat setelah Redi menangkat handphone-nya.
“Ooh oke gue keluar sekarang, jagain dia dulu,”
“Sipp!”

Tak lama kemudian, Redi keluar. Ia segera memapah Ara menuju kamarnya. Rama juga ikut turun membantu membawakan tas Ara. Setelah meletakkan Ara ditempat tidurnya, Redi keluar kamar Ara diikuti Rama. Setelah memberitahu bahwa tadi darah rendah Ara kambuh, ia pamit pulang dan Redi mengucapkan terima kasih karena telah mengantar Ara pulang.
Malamnya suhu badan Ara semakin tinggi. Alhasil Redi tidur dikamar Ara, sambil sesekali terbangun, mengganti kompres Ara yang telah mendingin. Redi memandangi wajah tidur Ara yang tenang, dan mengecup lama kening adik satu-satunya itu.

Get well soon dear,” ucapnya sambil membelai lembut kepala Ara.

***

“Ara mana Din?” tanya Rama ketika mereka memesan minuman saat istirahat.
“Gamasuk, sakit.”
“Oohh....” ucapnya tenang.
“Kamu kok kayanya ga kaget Ara sakit?” tanya Dinka penasaran.
“Hmm.... itu soalnya kemaren abis latihan basket penyakitnya Ara kambuh, trus aku anterin dia pulang,”

Deg.... hati Dinka menegang mendengar penjelasan Rama.

“Ng.... gapapa kan Din?”
“Eh, hmm.... iya gapapa Ara kan sahabat aku juga,”
“Haaahh.... bagus deh. Aku pikir kamu bakal marah,”
“Enggalah haha, eh makan yuk?” ucap Dinka sambil menggandeng tangan Rama memesan makanan.

Firaz yang sedaritadi menyimak pembicaraan Rama dan Dinka, hanya mengangguk paham dan menggumam,

Oh, namanya Ara. Pantes daritadi gue cariin gaada. Gamasuk ternyata anaknya.

“Eh kenapa lo ngangguk-ngannguk sendiri?” tanya Rafly yang tiba-tiba datang dari sampingnya.
“Eh? Gapapa, yuk duduk!”

Setelah mendapatkan tempat duduk, Firaz hanya mengaduk minumannya tanpa meminumnya sedikit pun. Rafly yang melihat ‘bos’-nya itu hanya bingung, karena gabiasanya Firaz diam seperti itu.

“Oh ya bos! Kemaren pas pulang ekskul lo kayanya gumamin tentang seseorang gitu yah?” tanya Rafly tiba-tiba. Firaz yang ditanya tiba-tiba itu hanya terkesiap, ternyata Rafly mendengar gumamannya.

Apa gue minta Rafly bantuin nyari tau tentang cewek itu ya? Tanyanya dalam hati.

“Oohh itu, bukan apa-apa. Eh ya raf, lo masih aktif basket ga?”
“Masih lah, bentar lagi kan ada turnamen. Emang kenapa? Tumben lo nanyain gue” tanyanya menyelidik.
“Hmm.... mau bantuin gue gak?” tanya Firaz sedikit ragu.
“Yaelah santai aja sih sama gue bos, bantuin apa sih? Hahaha”
“Ng.... cari tau info tentang anak basket yang namanya Ara yah?”
“Woow men, udah move on nih? Keysha dikemanain bos? Hahaha”

Firaz terdiam. Rafly yang menyadari dirinya telah salah ngomong, langsung buru-buru meralat ucapannya itu.

“Eh sori gue ga bermaksud....”
“Udah santai aja sih Raf, lagian juga emang bener gue mau move on. Gue mau coba lupain Keysha,” ucapnya lirih.
“Tenang aja bos, gue pasti bakal bantu lo ko! Nanti gue tanyain Diga deh, dia pasti punya data anak-anak basket lengkap.”
Thanks banget sob,” mereka kemudian melakukan high five, dan melanjutkan makan siang mereka. Kini Firaz tengah memikirkan rencana untuk mengenal cewek yang bernama Ara ini lebih jauh.

***

To be continued....

Tidak ada komentar:

Posting Komentar