Sherryl sedang melamun sendri di dalam mobil saat perjalanan pulang ke rumah setelah kunjungan ke SMA Mahatma tadi. Siapa cowok itu? Dengan beraninya, dia nyapa gue. Aneh, belum pernah ada yang ngajak gue kenalan seberani dia.
Sherryl masih kepikiran cowok tadi. Jika biasanya dia bakal nolak mentah-mentah cowok yang ngajak kenalan, tapi tadi ada sesuatu yang bikin Sherryl tertarik sama cowok itu. Pertama, dia ngajak kenalan Sherryl pake bahasa Jerman. Mungkin, itu yang ngebuat cowok itu spesial di mata Sherryl. Dan yang kedua, yaa.... Sherryl ga bisa bohong kalau cowok itu emang ganteng dengan perawakannya yang tinggi, putih, mancung, dan...............
“Iiiihh.... peduli amat gue sama dia?” Sherryl memaki dirinya sendiri dalam hati.
Bayangin aja, terakhir dia punya cowok itu setahun yang lalu. Seorang model dari singapur yang emang seneng banget nyari perhatian Sherryl. Dan karena kebodohan cowok itu, Sherryl terpaksa ngaku bahwa dia emang punya hubungan khusus sama si cowok karena media udah terlanjur nyebar desas-desus yang sama sekali ga enak di dengar.
Setelah itu, Sherryl lebih milih jauh-jauh dari yang namanya cowok, terkecuali Mas Robby, kakak sulungnya itu. Sherryl masih asyik mainin angry birds di handphonenya ketika mamanya nelpon dia dan nyuruh dia langsung dateng ke restoran tempat keluarga mereka biasa ngumpul.
Malam ini, Mas Robby bakal langsung balik ke Jerman karena dia harus ngelanjutin sekolahnya di Freie Universität Berlin, salah satu universitas di Berlin. Sherryl heran, kakak satu-satunya itu emang keterlaluan pinternya sampai-sampai, dia bisa sekolah di Jerman karena dapet exclusive scholarship.
Ga lama kemudian, supir yang nganterin dia bilang kalau mereka udah sampai di restoran tersebut. Dari luar kaca restoran yang bening, Sherryl bisa ngeliat mama, papa, sama kakaknya itu lagi bercanda bareng. Di depan mereka, tiga cangkir kecil ditaruh di meja kayu yang terkesan klasik. Mas Robby mengambil salah satu cangkir dan meminum isi di dalamnya. Dan saat dia ngeliat adik perempuan kecilnya itu keluar dari mobil, dia memberikan isyarat ke Sherryl agar dia cepat masuk kedalam.
Sherryl mendorong pintu restoran dan seketika itu juga, dia bisa denger alunan music jazz ringan disertai aroma makanan Itali yang bener-bener ngebuat dia makin laper. Setelah sampai di tempat keluarganya duduk, di pojok restoran dekat kaca, Sherryl langsung melempar tas tentengnya ke sofa dan duduk disamping Mas Robby.
“Hhhh Sherryl laper.” Ujar Sherryl dengan menampilkan raut muka cemberutnya ke keluarga kecilnya itu.
Mereka pun tertawa kecil melihat tingkah laku Sherryl. Jangan heran, jika diluar Sherryl terlihat dingin, judes, cuek, dan ketus sama temen-temennya atau orang yang ga dia kenal, maka jika bersama keluarganya, sikapnya bakal berubah 180ᵒ. Mas Robby dengan lembutnya meletakkan kepala Sherryl di pundaknya. Sherryl, yang emang udah kelelahan sedaritadi, pasrah aja sama apa yang kakanya lakuin itu.
“Baurnomelette, kan sayang?” tanya mamanya saat pelayan menanyakan apa yang akan dipesan.
Sherryl menangguk bersemangat ketika nama makanan kesukaannya disebut. Baurnomelette, seperti omelet isi irisan daging asap, sosis, dan jamur yang merupakan makanan kesukaan Sherryl dan keluarganya.
“Minumnya?”
“Apfelschoerle aja deh.” Jawab Sherryl singkat.
“Aku tambah soda susunya lagi ya, ma” pinta Mas Robby.
Setengah jam kemudian, pesanan Sherryl datang. Dengan lahapnya, Sherryl menyantap makan siang yang terlambat itu.
“Pelan-pelan, De makannya.” Kata Mas Robby diikuti oleh kikikkan orangtuanya.
Sherryl hanya melirik ke sekeliling dan melanjutkan makannya lagi. Didengarnya pengalaman yang sedang Mas Robby ceritakan ke orang tuanya selama di Jerman. Sherryl ga nyangka kalau kakaknya itu masih mau bekerja part time demi menekan pengeluaran untuk hidup di Negeri Hitler sana.
Sherryl bingung sama kakaknya yang satu ini, jelas-jelas mereka adalah anak dari pejaat plus pengusaha kaya. Tetapi, kakaknya tetap aja berusaha untuk ga hidup berfoya-foya. Beda banget sama Sherryl. Sherryl terbiasa membuang uang Cuma buat beli baju model terbaru lah, tas new arrival lah, atau semacamnya.
Nah itu dia alasan kenapa kakanya suka banget nyeramahin Sherryl. Tapi, diluar itu semua, baik Sherryl ataupun kakaknya, mereka sama-sama sadar kalau apa yang mereka nikmatin sekarang adalah kepunyaan orangtua mereka.
Pada awalnya, Sherryl jadi model Cuma karena iseng, tapi lama-lama banyak designer yang mulai ngelirik Sherryl buat jadi modelnya. Begitu juga dengan beberapa penerbit majalah. Jadilah Sherryl kayak sekarang ini. Waktunya banyak kesita dan sekolahnya malah jadi berantakan. Sedangkan kakaknya, malah lebih mentingin pendidikan dibanding apapun yang lainnya.
Sementara itu, disebrang meja tempat keluarga Sherryl lagi ngumpul, seorang cowok lagi sibuk sama laptopnya. Sesekali, ia mengalihkan pandangan melihat sosok gadis perempuan didepannya. Cowok itu Sadam.
Tadinya, Sadam masih ga yakin kalau ternyata cewek yang ada di depannya itu Sherryl. Tapi, semakin lama dia perhatiin, ternyata itu emang bener Sherryl, masih dengan seragam SMA Santika, sekolahnya Sherryl.
Sadam lagi ngerjain proyek pentingnya sama gengnya. Dengan penuh percaya diri, mereka ikut lomba karya tulis yang diadain sama pemerintah. Padahal, kalau dipikir-pikir, temen-temennya itu bukan tipe anak sekolah yang pasti ngerjain tugas, alias males. Alhasil, Sadam sendiri yang berusaha megang komitmen yang udah dia buat.
Dia sadar kalau seorang laki-laki sejati adalah seseorang yang bisa megang komitmen yang telah ia buat sebelumnya. Jadilah Sadam disini. Ngebrowse internet sana-sini demi nyari artikel yang bisa dia gunakan buat karya tulisnya itu. Sadam sempet ngajak Yosa buat ikut sama dia, tapi Yosa nolak. Alesannya, dia udah janji sama nyokapnya buat pulang cepet.
Tapi sekarang, Sadam serasa pingin ngetawain kebodohan Yosa yang nolah ajakannya tadi siang. Yosa pasti nyesel-senyesel-nyeselnya orang nyesel karena sekarang, dan seandainya aja Yosa nurut sama Sadam, dia bakal ngeliat Sherryl, anak SMA Santika yang cakep itu.
Berulang kali, Sadam berusaha fokus ke layar laptopnya, tapi yang ada, dia malah terus ngeliatin Sherryl sama keluarganya. Dia yakin 100% kalau cewek itu Sherryl. Tapi, yang ngebuat Sadam ragu, adalah tingkahnya Sherryl. Jauh dari kesan snob, jutek, dan cuek yang tadi dia tampilin di raut mukanya waktu dia ada di sekolah Sadam, SMA Mahatma. Sherryl, ternyata jauh dari perkiraan Sadam sebelumnya. Iseng, Sadam ngebrowse foto-foto Sherryl di internet.
Dia stuck di satu foto yang menurut dia cantik banget. Diliat dari suasana foto itu, Sherryl memakai gaun malam yang anggun dengan sebuah kalung berlian dengan motif rumit terpasang di lehernya.
“Cantik.” Komentar Sadam, lebih seperti gumaman tepatnya.
Tanpa sadar, dia ngeklik kana mouse di foto itu. Ada sesuatu dalam diri Sadam yang pingin banget ngeklik di pilihan save image as. Tapi kemudian, Sadam mencoba menjernihkan pikirannya.
“Apa-apaan gua? Udah sinting kayanya lu, Dam.” Batin Sadam.
Lagipula, buat apa muas-muasin diri ngeliat foto cewek cakep kalau emang cewek itu udah ada di depan mata kepalanya sendiri....
Sadam menghela nafas kemudian berkata, “Bakal seru nih jadinya.”
To be continued